KESEPAKATAN BERSAMA PENGEMBANGAN BUDIDAYA RUMPUT LAUT DAN KONSERVASI EKOSISTEM LAMUN DI PROVINSI MALUKU

  • Home
  • KESEPAKATAN BERSAMA PENGEMBANGAN BUDIDAYA RUMPUT LAUT DAN KONSERVASI EKOSISTEM LAMUN DI PROVINSI MALUKU
Blog Details

KESEPAKATAN BERSAMA PENGEMBANGAN BUDIDAYA RUMPUT LAUT DAN KONSERVASI EKOSISTEM LAMUN DI PROVINSI MALUKU

Sebagai langkah strategis untuk memperkuat ekonomi biru dan
mempercepat pengelolaan sumber daya kelautan yang berkelanjutan, Yayasan Samudera Indonesia Timur (YSIT) dan Pemerintahan Provinsi Maluku secara resmi menandatangani
“Kesepakatan Bersama tentang Pengembangan Budidaya Rumput Laut dan Konservasi Ekosistem Lamun di Provinsi Maluku” pada Selasa, 27 Mei 2025, di Kota Ambon, Maluku.

Kesepakatan ini bertujuan untuk menjadikan Provinsi Maluku sebagai pusat budidaya rumput laut berskala global sekaligus model konservasi ekosistem pesisir yang terintegrasi. Provinsi Maluku memiliki potensi besar dalam sektor kelautan dan perikanan, dengan luas wilayah laut mencapai 92,99% dari total wilayahnya. Namun, pemanfaatan sumber daya ini belum optimal.

Melalui kesepakatan ini, diharapkan tercipta sinergi antara pemerintah daerah, lembaga swadaya masyarakat, dan akademisi untuk mengembangkan budidaya rumput laut
serta konservasi ekosistem lamun secara berkelanjutan.
Gubernur Maluku, Hendrik Lewerissa, dalam sambutannya, mengatakan Provinsi Maluku memiliki potensi lahan perikanan budidaya mencapai 158.485,58 hektar, namun baru dimanfaatkan sekitar 8.516,30 hektar atau 5,37%, sementara luas ekosistem lamun mencapai 190.778,97 hektar. Namun menurutnya berbagai tantangan serius seperti serangan penyakit, dampak perubahan iklim, serta turunnya produktivitas, sehingga menyebabkan produksi rumput laut menurun drastis, padahal komoditas ini menyumbang sekitar 90% dari total
potensi perikanan budidaya di Maluku.

Demikian pula dengan ekosistem lamun, yang memiliki peran strategis dalam penyimpanan karbon biru (blue carbon), menopang keanekaragaman hayati, dan menjaga produktivitas perairan pesisir. Dalam Konteks ini, penandatanganan MoU hari ini merupakan babak baru dalam upaya Pemerintah Provinsi Maluku untuk memperoleh Pendapatan Asli Daerah (PAD) melalui mekanisme perdagangan karbon biru (blue carbon trade) yang potensinya sangat besar di Maluku”. Tambah Hendrik. Ia juga mengeluhkan, selama ini banyak proyek-proyek konservasi dan skema bisnis jasa lingkungan, termasuk karbon biru, lebih banyak dikendalikan oleh lembaga luar, bahkan pihak asing. Pemerintah daerah sering kali hanya dilibatkan sebagai pelengkap administratif, sementara masyarakat lokal dan nelayan hanya dijadikan objek data dan peta. “Saya ingin menegaskan bahwa kedaulatan ekologis harus sejalan dengan kedaulatan daerah, sebagaimana tertuang dalam undang-undang nomor 23 tahun 2014. Maluku tidak boleh hanya menjadi lokasi proyek, tetapi harus menjadi pelaku utama dalam pengelolaan konservasi dan jasa lingkungan”, Tegas Hendrik”. Ia menyambut baik inisiatif Yayasan Samudera Indonesia Timur yang berkomitmen untuk terlibat membangun sistem dari hulu ke hilir, termasuk rencana pembangunan laboratorium terpadu di Universitas Pattimura, serta pendirian pabrik pengolahan rumput laut, yang tentunya akan memberikan nilai tambah ekonomi bagi masyarakat dan daerah. langkah ini tidak hanya akan memberikan manfaat lingkungan, tetapi juga manfaat ekonomi langsung bagi masyarakat dan daerah.
Melalui kesepakatan ini, diharapkan tercipta model pengelolaan sumber daya kelautan yang berkelanjutan dan inklusif, yang dapat direplikasi di wilayah lain di Indonesia. Program ini juga diharapkan dapat meningkatkan daya saing produk kelautan Indonesia di pasar global serta memberikan kontribusi nyata dalam upaya mitigasi perubahan iklim melalui pengembangan ekonomi biru.